BAHAGIA WALAU CINTA TAK TERBALAS

Berpuas diri
adalah ibarat membuat bangunan
dengan menumpuk kartu remi, karena
kalaulah hidup ini mengajarkan
sesuatu, pelajarannya adalah bahwa
kita tidak dapat menghindari masalah
dan kehilangan. Kebahagiaan bukanlah
seni membangun kehidupan yang
bebas dari masalah. Kebahagiaan
adalah seni untuk merespons dengan
baik ketika masalah menghampiri kita.
Saya sendiri mengalami patah hati
ketika usia dini. Waktu itu saya masih
muda dan jatuh cinta, [saya] seorang
doktor di bidang psikologi yang sedang
menanjak, baru saja berkeluarga, dan
merasa kurang lebih sudah mapan.
Lalu, dunia saya terasa runtuh. Saya
sedang menikmati hari paling indah
dalam hidup saya. Anak lelaki kedua
saya lahir, dan dia begitu lembut, kecil,
dan menggemaskan. Saya melihat
adanya kemiripan wajah dengan saya,
dan rasanya seperti menemukan emas.
Saya membayangkan kehidupan
terbentang di hadapannya–masa bayi,
masa balita, kanak-kanak, masa kuliah,
dan seterusnya–dan semua itu
membuat hidup saya terasa jauh lebih
bahagia dan menyatu dengan dunia.
Ketika saya menggendong si kecil
riang, dia seperti cinta yang sedang
mewujud sebagai manusia kecil di
tangan saya. Dan kemudian dokter
berkata, “Ada yang tidak beres.”
Keberanian saya lenyap seketika dan
saya bisa merasakan degup jantung
seperti menendang dari dalam dada
ketika dokter mulai merangsang Ryan
untuk bernapas. Tidak lama kemudian,
saat Ryan berguling tidak menentu
dalam inkubator di balik dinding kaca
tebal, dokter mengatakan kepada saya
dengan suara tegang bahwa Ryan
tampaknya mengidap sindroma selaput
hyaline, kegagalan fungsi kantong
alveolar di paru-paru. Rumah sakit itu
tidak punya perlengkapan untuk
menangani masalah itu, jadi Ryan
dilarikan dengan ambulans ke rumah
sakit yang lebih lengkap di kota besar.
Kenangan akan ambulans itu, lampu
merah yang menyala-nyala di malam
gulita, terpatri ke dalam otak saya.
Kami mengupayakan segala yang bisa
diupayakan, termasuk berdoa, tentunya,
tapi si kecil Ryan akhirnya meninggal.
Oleh karena istri saya masih dirawat di
rumah sakit untuk pemulihan setelah
melahirkan dengan operasi cesar, saya
harus menyelesaikan segala urusan
kematian itu sendiri–mencari penyedia
jasa penguburan di buku telepon,
memilih lokasi pemakaman yang
sekiranya pantas, membeli peti jenazah
yang berukuran kecil, dan memesan
batu nisan serta berusaha memikirkan
kata-kata apa yang akan ditorehkan di
atasnya. Apa yang bisa saya katakan?
Percayalah, kata-kata saya ini tidak
perlu dibuktikan lagi: kenangan paling
buruk dalam hidup Anda tidak akan
pernah memudar . Saya tenggelam
dalam kesedihan. Bahkan sekarang,
betapa pun pedih hati ini karena
kematian ayah saya, saya tahu bahwa
tidak ada yang bisa mengobati nestapa
yang menyiksa saya ketika itu. Saya
tidak bisa dihibur, takut untuk
mengawali setiap hari, dan bahkan
lebih takut lagi menghadapi masa
depan yang terbentang, merasa benar-
benar tak berdaya untuk
menyelamatkan emosi saya dari
perasaan terpuruk, terpuruk, dan
terpuruk. Saya bertanya kepada Tuhan,
“Mengapa saya?” Dan setiap kali saya
merasa mendapat jawaban, saya
membantahnya. Tidak, kami tidak
menjadwalkannya kelahiran itu terlalu
cepat. Bukan, bukan salahku kalau
rumah sakit kecil itu tidak bisa
menolongnya. Tidak, penyakit itu bukan
bawaan. Tidak, saya tidak melakukan
sesuatu yang begitu jahat sehingga
pantas menerima semua ini. Saya
bergulat dengan Tuhan–tetapi itulah
pergulatan yang tidak pernah Anda
menangi. Karena hidup saya terus
berjalan, tidak peduli saya suka atau
tidak, saya berusaha menyatukan
kembali serpihan dunia saya. Tetapi,
seperti juga kebanyakan orang–bahkan
sebagai seorang psikolog muda yang
semestinya lebih arif–saya berusaha
menemukan kembali dunia saya
dengan menggunakan mekanisme-
mekanisme penyesuaian diri yang lebih
membahayakan daripada membantu.
Pada saat itu, semuanya terasa masuk
akal, bahkan terasa berani. Walaupun
begitu, sejak itulah saya sadar bahwa
mekanisme penyesuaian diri yang saya
gunakan justru malah memperkuat
tembok penjara kesedihan dan rasa
takut. Sekarang, saya punya sebutan
rendah untuk mekanisme penyesuaian
diri yang tidak memperbaiki keadaan
itu: 5 M Menyesatkan. Sambil berjuang
untuk bertahan secara emosional, saya
menuntut agar nasib saya diubah,
meskipun tidak akan ada perubahan
yang mungkin terasa cukup. Ketika
saya merasa tidak puas dengan segala
yang terjadi, saya meremehkan upaya
saya untuk pulih, dan semakin
tenggelam dalam ketidakberdayaan.
Lalu, saya mulai mengutuk diri sendiri
dan berpikir bahwa entah bagaimana
saya memang layak menerima tragedi
ini, karena saya tidak cukup arif untuk
mengenali suatu kekurangan pada diri
saya. Alih-alih berusaha memetik
pelajaran dari peristiwa kehilangan itu,
saya mengabaikan segala hikmah dari
sana. Saya melihat semua itu sebagai
derita dan tidak ada hal lain di luar itu.
Dan saat kegagalan-kegagalan saling
bertumpuk, saya mati- matian
menggandakan semua upaya salah
kaprah itu, mengira bahwa kalau saja
saya bisa mencurahkan lebih banyak
perasaan dan jiwa saya ke dalam
siksaan ini, saya akan menemukan
jalan keluar. Semua itu tidak pernah
menjadi nyata. 5 M Menyesatkan akan
selalu mengkhianati Anda. Sungguh
mengherankan jika mereka begitu
terkenal. Kemudian suatu hari, ketika
saya sudah tidak tahan lagi untuk
menanggung bahkan satu detik pun
serangan pikiran yang mengerikan,
saya berpura-pura selama beberapa
detik, atau mungkin hanya satu atau
dua menit, bahwa Ryan masih hidup di
tengah-tengah kami, dan saya
membiarkan diri saya mencintainya,
seperti saat pertama kali saya
menggendongnya. Untuk beberapa
waktu yang singkat itu, kegelapan pun
memudar. Penyangkalan memang
berfungsi sebagai oasis yang nyaman.
Namun, saya jadi bertanya-tanya
apakah benar penyangkalan itu yang
mengobati saya? Di dalam kepala, saya
benar-benar sadar bahwa anak saya
sudah meninggal. Jadi, tanpa kepura-
puraan itu pun saya kembali
membiarkan diri untuk memusatkan
rasa cinta saya kepada Ryan. Dan
perasaan damai dari derita itu pun
kembali lagi. Lama-lama–setelah
begitu lama–saya temukan bahwa
ketika saya sengaja membiarkan diri
untuk mengumpulkan segenap cinta
kepada Ryan, saya benar-benar merasa
lebih baik–kejutan aneh– alih-alih
merasa lebih buruk. Saya juga
menemukan bahwa saya masih bisa
mencinta Ryan walaupun nyatanya dia
tidak akan pernah membalas cinta
saya– bahkan tidak akan pernah
mengenal saya. Saya sadar bahwa
cinta saya kepada Ryan (dan bukan
cinta dia kepada saya) adalah warisan
yang dia tinggalkan, dan tak seorang
pun bisa merenggutnya. Kecuali saya
sendiri. Dan saya tidak mau
melepaskannya. Cinta itu terlalu kuat
dan terlalu indah. Cinta itulah satu-
satunya perasaan yang lebih kuat
daripada derita akibat kehilangan.
Setiap hari, awalnya dengan air mata,
saya menyisihkan waktu beristirahat
untuk menikmati kedamaian rasa cinta
saya untuk si kecil. Secara bertahap,
rasa cinta yang saya rasakan mulai
memberkahi saya dengan lebih dari
sekadar pelarian dari derita. Cinta itu
juga memberi saya kekuatan
emosional untuk memaafkan, dan
berhenti menyiksa diri saya dengan
pertanyaan “Mengapa saya?” Dalam
pembunuhan emosi seperti ini,
seseorang hanya bisa menyalahkan
siapa saja dan semua orang–dokter
yang semestinya lebih tahu, sopir
ambulans yang seharusnya bisa
menyetir lebih cepat, para pembayar
pajak yang menolak untuk membangun
rumah sakit yang lebih besar. Diri
sendiri. Nasib. Tuhan. Akan tetapi, saya
memaafkan. Saya melepas pertemanan
saya dengan amarah yang terasa
sedikit nyaman itu. Ketika saya
melakukan semua ini, saya
menemukan bahwa kemarahan saya
hanyalah emosi pengganti untuk derita
yang jauh lebih besar, dan bahkan jauh
lebih sulit untuk diatasi. Derita yang
lebih besar itu adalah rasa takut–rasa
takut untuk menjalani sisa hidup saya
yang tidak berharga lagi tanpa
kehadiran anak lelaki saya, serta nasib
dan Tuhan yang seolah- olah tengah
menghalangi saya. Semakin saya
memaafkan, saya semakin bisa
memahami dan menyadari bahwa
walaupun Ryan telah tiada, baik Tuhan
maupun orang lain tidak pernah
menghalangi saya, dan nasib saya
masih bisa berubah. Pemaafan itu
memberkahi saya dengan rasa aman di
dalam diri dan memberi saya
kesadaran akan kekuatan pribadi yang
tidak terduga. Saya tidak lagi merasa
bahwa seolah-oleh emosi saya sangat
bergantung pada tindakan orang lain
dan pada nasib itu sendiri. Kesedihan
bisa saja menghantam saya berulang-
ulang, tetapi kehidupan tidak bisa
membuat saya membenci siapa pun–
bahkan tidak diri saya sendiri. Saya
perlahan-lahan meraih kembali
kekuatan, seperti layaknya seseorang
yang telah berperang melawan
penyakit yang parah, dan saya jadi
lebih mampu untuk mengulurkan
tangan dan membantu orang lain–
keluarga saya yang tengah berduka,
klien, dan teman-teman saya–dan saya
mendapatkan kejutan lain. Meskipun
saya sendiri masih perlu menghimpun
kekuatan, justru dengan membantu
orang lain, saya bisa memperoleh
dayahidup yang lebih besar daripada
yang saya berikan. Semakin banyak
semangat dan cinta yang saya
curahkan kepada orang lain, saya
semakin merasakan diri saya terisi
kembali dengan kehidupan dan
harapan. Saya temukan bahwa
kehidupan di dunia saat ini lebih
berharga daripada kemelut di dalam
diri saya. Dan pada suatu pagi yang
biasa tanpa keriuhan, sebagaimana
layaknya ketika perubahan sejati
berlangsung, saya sadar bahwa telah
tumbuh pengetahuan baru di dalam diri
saya. Jenis pengetahuan yang
membebaskan dan bukan sekadar ilusi
yang biasanya hanya diperoleh lewat
penderitaan. Saya tahu bahwa cinta
saya kepada Ryan adalah milik saya
selamanya, tersimpan di dalam hati,
dan abadi. Saya tahu bahwa tidak ada
peristiwa lain yang bisa membuat saya
hancur secara keseluruhan. Saya tahu
bahwa hidup teramat berharga dan
singkat, dan bahwa sejak saat itu, saya
akan memerhatikan anak pertama
saya, Brett, jauh lebih baik daripada
sebelumnya. Dan saya belajar bahwa
jika saya mencurahkan cinta saya
kepada Ryan, keluarga, teman-teman,
dan klien-klien, jiwa saya akan kembali
utuh. Semua pelajaran ini luar biasa
berharga bagi saya. Namun, saya tahu,
bahkan sejak pagi itu, bahwa saya tidak
akan pernah mempelajarinya tanpa
mengalami penderitaan terlebih
dahulu. Jadi, pada hari yang
sebenarnya itu, saya menjelma sebagai
sosok yang optimistis. Saya belajar
bahwa optimisme adalah: mengetahui
semakin menyakitkan peristiwa yang
dialami, semakin besar pula hikmah
yang akan diperoleh.

Komentar (0)

Post a Comment